Selasa, Maret 31, 2009

Tangki Cinta

Tangki Cinta,hemm.... istilah yang belum lama kukenal. Aku mencuri-curi dengar saat Bapak Ariesandi S memberikan seminar kepada orang tua murid Mathemagics Yogyakarta. Sepenangkapku, tangki cinta ibarat tangki tempat untuk menampung bahan bakar sebuah kendaraan agar bisa bergerak dan digunakan sebagaimana mestinya. Seperti itulah manusia. Setiap manusia mempunyai semacam tangki yang harus diisi. Jika dalam sebuah kendaraan membutuhkan bensin,solar,dll, maka manusia membutuhkan bentuk2 kasih sayang untuk mengisi tangki cintanya. Kita ambil contoh seorang anak, Jika dia memperlihatkan gejala seperti rewel dan menjengkelkan sebagai bentuk dirinya merasa tidak diterima (karena tidak mendapat perhatian walaupun sudah meminta) yang akhirnya memunculkan kemarahan dalam diri, merasa tidak berharga, itu sudah bisa dipastikan tangki cintanya tidak terpenuhi bahkan kosong. Hal ini jika terjadi terus menerus akan mengakibatkan dia tidak pernah menuruti perkataan orang tua, takut gagal, tidak berani mengambil keputusan dan sikap negatif yang lain. Orang yang bertanggung jawab mngisi tangki cintnya yang utama adalah orang tua sebagai figur lekatnya. Selanjutnya bisa dari pengasuh, teman, guru atau keluarga yang lain. Banyak orang tua yang sudah merasa memberikan cinta pada anak secara penuh,tapi anak masih memperlihatkan sikap seolah-olah anak tidak terpenuhi tangki cintanya, bisa disebabkan karena bentuk cinta yang diberikan orang tua tidak diterima dengan tepat oleh anak. (Sebagai contoh, orang bule yang fasih berbahasa inggris,mengunjungi sebuah kampung, dia mengatakan semua maksud dan tujuannya dengan sangat jelas, namun orang yang dia ajak berbicara sama sekali tidak menerima maksudnya karena bahasa yang digunakan tidak dimengerti oleh sang penerima) , itu halnya kenapa maksud dan tujuan tidak bisa diterima karena perbedaan bahasa. Sudah barang tentu bahasa orang tua tidak dimengerti oleh anak, karena jalan pemikiran, juga sudah berbeda. Untuk memaksakan anak mengerti bahasa kita, itu adalah hal yang sangat sulit, lebih bijaksana jika kita sebagai orang tua yang menyesuaikan diri, saat berbicara dengan anak. Kita bisa menggunakan bahasa anak. Sebagai contoh, saat anak kita sakit dan ia menginginkan main air , kita mengatakan "sayang, kamu tuh sakit!kalau kamu main air, kamu akan tambah sakit" kira-kira apakah anak akan menangkap maksud kita? padahal itu bentuk kasih sayang kita agar sakitnya tidak tambah parah. Namun disisi lain amak tidak tahu hubungannya sakit, dengan main air...apakah tidak lebih bijaksana kita pelan-pelan menjelaskan "Sayang, sekarang kan adik lagi sakit, tuh badannya menggigil, dinginkan? kira-kira kalau adik main air tambah dingin nggak ya?kalau main air, terus rasanya tambah dingin, tambah sakit gimana? lebih enaknya,sekarang adik istirahat dulu biar cepet sembuh, nanti kalau sudah sembuh adik main air sama mama, pasti lebih asyikkk" ya mungkin dengan pengertian yang labih,d an mengkondisikan dengan keinginan anak, anak akan menuruti permintaan kita secara senang dan dia merasa disayangi. Lebih penting manakah " ORANG TUA YANG MERASA MENYAYANGI ANAKNYA atau ANAK YANG MERASA DISAYANGI ORNG TUA". Untuk bahasa cinta yang kira-kira bisa diterima dengan tepat oleh anak,bahas di postingan selanjutnya ya....sudah terlalu panjang.(nanti malah membosankan hehehe).

Tidak ada komentar: